Source: http://www.amronbadriza.com/2012/10/cara-membuat-anti-copy-paste-di-blog.html#ixzz2PsZu7P6d Rully Dwiantoro: 2011 /* Start http://www.cursors-4u.com */ body, a:hover {cursor: url(http://cur.cursors-4u.net/cursors/cur-1/cur1.ani), url(http://cur.cursors-4u.net/cursors/cur-1/cur1.png), progress !important;} /* End http://www.cursors-4u.com */
THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 15 November 2011

Tabel Masa Depan

Tahun Keinginan
2012 mempunyai pekerjaan untuk menambah uang kuliah dan mendapatkan IPK UAS minimal 3,5
2013 menjadi asisten lab komputer di Universitas Gunadarma
2014 masuk seleksi SARMAG Mesin
2015 kuliah SARMAG di Perancis
2017 lulus kuliah SARMAG Mesin dengan IP 4,00 (Harus)
2018 mendapatkan pekerjaan di perusahaan pertambangan minyak
2019 mendapatkan penghasilan perbulan minimal 30 juta (Amin)
2020 mensejahterakan orang tua dan menaikkan haji (Amin)
2021 mempunyai rumah yang besar di daerah yang sejuk bebas polusi dan suasana lingkungan yang nyaman juga fasilitas yang lengkap serta lokasi yang strategis
2022 mendapatkan seorang pendamping yang sholehah yang cantik dari keluarga yang terpandang (Amin)
2023 mempunyai dua orang anak laki-laki yang kembar 
2024 mempunyai dua orang anak perempuan yang kembar
2025 naik haji bersama istri
2026 membuka usaha penambakkan ikan
2030 mempunyai cabang penambakkan ikan di 18 kota
2031 mempunyai 2 buah Mobil Harley Davidson dan 2 buah Motor Harley Davidson
2040 menciptakan kendaraan Antigravitasi
2050 mempunyai perusahaan pembuat kendaraan Antigravitasi yang bernama PT. Rullyspy
2060 mempunyai cabang 210 perusahaan PT. Rullyspy di 18 Negara
2070 Menikmati hari tua bersama keluarga tersayang

Mewawancarai seorang perantau dari SUMUT


Mewawancarai  seorang perantauan
Merantau adalah perginya seseorang dari tempat ia tumbuh besar ke daerah lain untuk mencari pekerjaan atau pengalaman.
Sriyati Sembiring (40 Tahun) asli kelahiran Medan merupakan salah seorang perantau yang berambisi dan berpotensi untuk memulai bisnis usahanya di daerah yang dia rantau namun bukan hanya alasan itu saja dia pergi merantau. Berikut adalah identitas diri dan wawancaranya:
Identitas seoarang narasumber yang saya wawancarai:
Nama                               : Sriyati Sembiring
Jenis Kelamin                   : Wanita
TTL                                 : Pematang Siantar Sumatra Utara, 23 Februari 1971
Pendidikan Terakhir         : D1 Kebidanan
Alamat Sekarang              : Griya Kenari Mas blok A.13 No.4 RT 01 RW 10 Cileungsi Bogor Jawa Barat
Profesi                            : IRT dan Pedagang
Agama                             : Islam
Golongan Darah                : O

Berikut wawancara yang saya lakukan kepada Ibu Sriyati:

Saya            : Dari daerah mana anda berasal?
Sriyati         : Saya dari daerah Pematang Siantar Sumatra Utara.
Saya            : Sudah berapa lama anda meninggalkan  kampung halaman anda?
Sriyati         : kira-kira sudah seumur anak saya tepatnya saya sudah meninggalkan kampung halaman kurang lebih selama 18 tahun.
Saya            : Memang anda mempunyai anak berapa dan berapa umur mereka masing-masing juga jelaskan siapakah nama anak anda?
Sriyati         : Saya mempunyai 3 orang anak yang pertama berumur sekitar 18 tahun dia bernama Griya Jujuren Kristiani Bukit, yang kedua bernama Gaby  Elfa Bukit dia berumur sekitar 12tahun dan yang paling kecil bernama Randal Agustian Bukit dia berumur sekitar kurang lebih 3 tahun
Saya            : Apakah cita-cita anda dulu? Dan jelaskan alasannya!
Sriyati         : Saya dulu bercita-cita ingin menjadi pedagang sukses karena cepat menghasilkan uang, bisa mengurus rumah tangga dan kerjaannya santai juga tidak terikat.
Saya            : Kenapa anda dulu memilih kuliah kebidanan padahal anda bercita-cita sebagai pedagang?
Sriyati         : Karena selain cita-cita saya sebagai pedagang yang sukses saya juga ingin menjadi bidan karena pikir saya bidan juga menghasilkan banyak uang.
Saya            : Apakah sulit untuk bersosialisasi yang tempatnya sangat berbeda dan salah satunya adat daerah asal juga sangat berbeda?
Sriyati         : Saya merasa tidak sulit karena dapat beradaptasi dengan mudah karena lingkungan perumahan juga kebanyakan orang perantauan jadi sama-sama baru mengenal satu sama lain.
Saya            : Kenapa anda memilih daerah sini? Apakah memang sengaja?
Sriyati         :Iyaa saya memang sengaja mengambil lokasi di tempat ini, Karena daerah disini bukan daerah banjir dan penduduknya belum padat serta lokasi di tempat ini sangat strategis.
Saya            : Berapa lama anda untuk bisa merasa nyaman di daerah ini?
Sriyati         : Kurang lebih sekitar 3 bulanan saya merasa nyaman di daerah Cileungsi ini…
Saya            : Apakah sumber daya di sini melebihi dari daerah asal anda? Jika Iya jelaskan alasannya!
Sriyati         : Iya, karena di sini perputaran uangnya cepat, dan pilihan untuk menjual barang banyak serta peminatnya pun banyak..
Saya            : Apakah keadaan seperti ini merupakan bagian yang anda rencanakan? Jika iya jelaskan alasannya!
Sriyati         : Iya, karena dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan menambah pengalaman hidup juga menambah teman pergaulan
Saya            : Apa moto hidup anda?
Sriyati         : Bekerja sambil berdoa menghasilkan kesuksesan.
Saya            : Maaf Bu, saya ingin bertanya ke hal yang lebih pribadi dan maaf kalo saya bertanya kurang sopan, apakah boleh?
Sriyati         : Boleh, asal bertanyanya pake etika dan ada batasannya ya..
Saya            : Baik Bu, saya ingin bertanya jika anda suatu saat wafat anda mau dimakamkan di mana?
Sriyati         : Hmm, saya ingin dimakamkan di kampung halaman saya yaitu di Pematang Siantar Sumatra Utara.
Saya            : Makasih Bu atas waktunya,
Sriyati         : Iya sama-sama









Inilah foto Ibu Sriyati Sembiring dan anaknya yang paling kecil:
 Ini foto saya dengan Ibu Sembiring dan anaknya:
Demikian wawancara saya dengan Ibu Sriyati Sembiring

Minggu, 23 Oktober 2011

Pengertian URL (Tugas Internet Dasar)

(Pengertian URL atau Uniform Resource Locator dan Fungsi URL) – URL adalah singkatan dari Uniform Resource Locators yang berarti suatu “pathname” untuk mengidentifikasi sebuah dokumen di web. Didalam URL terdapat informasi nama mesin/host (dalam hal ini komputer) yang akan diakses, nama dokumen beserta logical pathnamenya serta jenis protokol yang akan digunakan untuk melakukan akses ke web.

Pengertian URL (Uniform Resource Locator) adalah rangkaian karakter menurut suatu format standar tertentu, yang digunakan untuk menunjukkan alamat suatu sumber seperti dokumen dan gambar di Internet. URL pertama kali diciptakan oleh Tim Berners-Lee pada tahun 1991 agar penulis-penulis dokumen dokumen dapat mereferensikan pranala ke World Wide Web. Sejak 1994, konsep URL telah dikembangkan menjadi istilah Uniform Resource Identifier (URI) yang lebih umum sifatnya.
Contoh dari URL adalah sebagai berikut:
1) http://www.mrd93.com/
2) http://mrd93.blogspot.com

Fungsi atau Kegunaan URL adalah:
  • Sebagai pengidentifikasi sebuah dokumen di web
  • Untuk memudahkan kita dalam mengakses suatu dokumen melalui website
  • Untuk memberikan penamaan terhadap suatu file / dokumen pada website
  • Memudahkan kita untuk mengingat suatu alamat website
Contoh Gambar URL:

Jumat, 19 Agustus 2011

Pembudakan dan Pemusyrikan di Keraton Berkedok Kebudayaan

SEHARUSNYA di dalam negara Republik Indonesia tidak ada lagi budaya feodal dan monarkis yang masih eksis. Kenyataannya, budaya seperti itu justru dihidup-hidupkan bahkan dibiayai oleh pemerintah, baik melalui APBD maupun APBN dengan alasan melestarikan budaya bangsa.
Keraton atau Kesultanan atau apalah nama lainnya, adalah institusi yang tidak saja melestarikan budaya bangsa yang penuh kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainnya, tetapi juga melestarikan budaya bangsa yang dikaterogikan sebagai perbudakan, melalui ‘budaya luhur’ abdi dalem.
Di Metro TV pernah ditayangkan realita kehidupan abdi dalem Keraton Jogjakarta, yang jumlahnya mencapai 2300 orang. Mereka menerima upah yang jauh di bawah garis kemanusiaan. Untuk abdi dalem berpangkat panglima perang, memperoleh upah sebesar Rp 45.000 (empat puluh lima ribu rupiah) setiap tiga bulan. Jadi sebulan rata-rata memperoleh Rp 15.000 (lima belas ribu rupiah). Sedangkan abdi dalem yang berpangkat prajurit, jauh lebih kecil, bahkan ada yang cuma diupahi beberapa ribu rupiah saja per bulannya.

Meski begitu, ironisnya, peminat menjadi abdi dalem tidak sedikit. Bahkan harus ngantri segala. Mereka beranggapan menjadi abdi dalem sebagai pengabdian kepada Sultan dan Keraton Jogja, selain juga untuk ngalap berkah (mengharap berkah). Gilanya lagi, mereka merasa keberkahan itu benar-benar menghampiri. Misalnya, salah seorang abdi dalem yang berprofesi ganda sebagai penjual cendol, sebelum menjadi prajurit Keraton Jogja mengaku pendapatanya per hari rata-rata Rp 11.000 (sebelas ribu rupiah), namun sejak menjadi prajurit pendapatannya justru meningkat hingga mencapai Rp 17.000 hingga Rp 20.000 per hari. Begitu  menurut pengakuannya. (http://david.bits-soft.com/siapa-mau-jadi-abdi-dalem-kraton/)
Nampaknya mereka (para abdi dalem) itu tersugesti sedemikian rupa. Tingkat kejahilan mereka (para abdi dalem) yang sedemikian rupa itu, telah dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang masih menganut feodalisme. Sesungguhnya, ini merupakan perbudakan yang dikekalkan dengan dalih melestarikan kebudayaan, juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang dibungkus dengan argumen mengabdi kepada kebudayaan.
Dari sudut pandang Islam, budaya abdi dalem sama sekali jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, oleh karenanya jauh dari nilai-nilai Islam. Dalam pandangan Islam, setiap orang punya dua hal, yaitu hak dan kewajiban. Keduanya harus ditunaikan secara seimbang. Seorang prajurit, selain mempunyai hak berupa upah yang layak, sehinga dapat mencukupi kehidupan keluarganya, juga mempunyai kewajiban yang bila diabaikan maka ia digolongkan sebagai pengkhianat.
Sedangkan dalam budaya abdi dalem, sebelum menjadi abdi dalem mereka disaring melalui persyaratan yang ketat, ada masa percobaan, ada jenjang karir dan sebagainya. Namun, upahnya jauh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku, padahal upah minimum yang berlaku saja masih jauh dari kelayakan. Ini jelas melanggar HAM dan merupakan perbudakan berbungkus kebudayaan.
Mengharapkan berkah melalui ‘profesi’ sebagai abdi dalem jelas keliru. Sebab, seharusnya harapan memperoleh berkah dipanjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah bekerja keras, memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya, kemudian mendapat upah selayak-layaknya, barulah seseorang itu menggantungkan harapan mendapat berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membelanjakan penghasilannya di jalan yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengharap berkah (ngalap berkah) versi abdi dalem, jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Apalagi harapan itu digantungkan dengan cara membiarkan dirinya didzalimi orang lain. Maka yang sesungguhnya mereka peroleh bukanlah berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, Allah tidak suka terhadap orang yang gemar berbuat dzalim, dan tidak suka kepada orang yang membiarkan kedzaliman berlangsung.
Dalam konteks ini, baik sang abdi dalem, maupun para Sultan atau Raja dan seluruh keluarganya, termasuk aparat pemerintah yang mengekalkan hal ini dengan dalih melestarikan kebudyaaan, mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang mendapat laknat Allah.
Sejak 1755
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri pada tanggal 13 Maret 1755. Sejak saat itu ‘profesi’ abdi dalem mulai menjadi bagian dari pemerintahan monarkis para Raja Jogja.
Para abdi dalem ini mengikuti aturan jenjang kepangkatan yang mencapai sebelas tingkatan, setiap tingkatan ditempuh dalam tempo lima tahun. Dengan demikian, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang bisa mencapai seluruh jenjang kepangkatan itu. Karena butuh waktu 55 tahun. Jenjang kepangkatan itu adalah: Jajar, Bekel Anem, Bekel Sepuh, Lurah, Kliwon, Wedana, Riya Bupati Anem, Bupati Anem, Bupati, Bupati Kliwon, dan Bupati Nayaka.
Ada dua kategori abdi dalem, yaitu Punakawan dan Kaprajan. Abdi dalem Punakawan memiliki tugas pokok harian di lingkungan keraton, sedangkan abdi dalem Kaprajan adalah abdi dalem yang berasal dari pegawai instansi pemerintah, baik yang sudah pensiun maupun yang masih bekerja.
Dalam bertugas, abdi dalem mengenakan seragam pakaian yang disebut kain pranakan. Warnanya biru tua dengan corak garis vertikal berjumlah tiga dan empat garis. Seragam itu ada sejak 188 tahun lalu saat Sri Sultan Hamengkubuwono V (1820–1855) menciptakan pakaian untuk para abdi. Garis berjumlah tiga dan empat memiliki arti Telupat yang bermakna Kewuluminangka Perpat yang berarti direngkuh dan disaudarakan dalam satu kesatuan di kerajaan. Sifat persaudaraan yang diharapkan adalah persaudaraan sesama abdi dalem dan persaudaraan dengan Sri Sultan. (http://batampos.co.id/Utama/Utama/Tahan_Hadapi_Krisis_ala_Abdi_Dalem_Keraton_Jogja.html)
Salah satu doktrin yang ditanamkan para Raja (Sultan), bahwa pengabdian para abdi dalem sesugguhnya bukan kepada sosok Raja (Sultan) namun pengabdian itu tertuju kepada sesuatu yang impersonal yang dinamakan kebudyaan. Jadi, abdi dalem adalah abdi kebudayaan. Begitu kata mereka. Ini jelas membodohi. Sebab, budaya atau kebudayaan menurut perspektif antropologi adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia (berupa benda-benda, perilaku, aturan, dan sebagainya). Sebagai sebuah produk yang dihasilkan oleh manusia, maka kebudayaan tidak bisa lepas dari unsur manusianya. Tidak ada manusia,  tidak ada budaya.
Jadi, tetap saja pengabdian para abdi dalem itu tertuju kepada sang Raja (Sultan). Kenyataannya, kehidupan para abdi dalem ketika berada di lingkungan keraton akan sangat tergantung perintah Raja (Sultan), sehingga segala perilaku dan sikap para abdi dalem itu terkontrol oleh Raja (Sultan).
Kalau ‘profesi’ abdi dalem hanyalah sebuah fenomena kebudayaan semata, maka maukah sang Raja (Sultan) berganti peran dengan sang abdi dalem sebagaimana terjadi di sinetro-sinetron? Tidak bisa bukan? Karena Raja tetaplah Raja, dan abdi dalem tetaplah abdi dalem. Anak Raja kelak bisa menjadi Raja, dan sama sekali tidak bisa menjadi abdi dalem. Begitu juga dengan anak abdi dalem, tidak mungkin menjadi Raja, bukan?
Seharusnya, peranan Raja dan abdi dalem seperti ini sudah musnah bersamaan dengan diproklamasikannya negara kesatuan Republik Indonesia. Tapi kok masih eksis? Pasti ada dukukungan politis dari penguasa. Akibatnya, keberadaan  ‘budaya luhur’ yang menjajakan kemusyrikan, kemunkaran, perbudakan dan pelanggaran HAM, tetap terjaga, dihormati, bahkan dibiayai oleh penguasa.
Itu jelas kedhaliman, bahkan persekongkolan kedhaliman. Sedangkan Allah Ta’ala yang menciptakan dunia seisinya ini justru wanti-wanti, agar manusia ini takut kepada siksa dari kedhaliman yang tidak hanya menimpa si dhalim saja namun bisa merata.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (25)
25.  Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS Al-Anfal: 25).
Menjadi alat politik
Akibat lainnya, abdi dalem tidak saja menja di ‘budak’ tetapi menjadi alat politik bagi Raja (Sultan) yang nyambi jadi eksekutif pemerintahan. Misalnya, dalam rangka memberi dukungan terhadap Undang-Undang Keistimewaan Jogjakarta, ratusan abdi dalem Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Pura Pakualam Yogyakarta bersama warga melakukan aksi berdoa dalam diam sambil mengelilingi komplek keraton yang lazim disebut lelaku tapa bisu mubeng beteng. Aksi tersebut digelar pada hari Rabu tanggal 08 Oktober 2008, tengah malam, untuk mendesak diwujudkannya Undang Undang Keistimewaan Jogjakarta. (http://www.indosiar.com/news/sapa/76088/abdi-dalem-dan-warga-gelar-laku-bisu-mubeng-beteng)
UU Keistimewaan tersebut intinya, mengakui Sri Sultan Hamengku Buwono ke X dan Sri Paduka Pakualam ke IX sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa melalui proses pilkada. Artinya, kelak anak Sri Sultan Hamengku Buwono X akan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono XI, sedangkan anak Sri Paduka Pakualam ke IX kelak akan menjadi Sri Paduka Pakualam ke X. Keduanya kelak akan secara otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DI Jogjakarta tanpa Pilkada, tanpa mengeluarkan keringat. Sistem monarkis mengalahkan sistem demokratis. Anehnya, para pejuang demokrasi nggak ribut.
Aksi keprihatinan itu jelas-jelas bermuatan politis, karena biasanya aksi seperti itu dilakukan hanya satu kali dalam setahun, yakni setiap tanggal 1 bulan Suro pada penanggalan Jawa. Namun dengan alasan “dalam kondisi mendesak” aksi prihatin itu digelar juga dengan alasan untuk memohon petunjuk dari yang Kuasa. Padahal, dalam rangka memberikan tekanan kepada pemerintah pusat untuk mempertahankan keistimewaan Jogja yang Guberbur dan Wakilnya dijabat secara turun temurun.
Padahal, menurut sabab musababnya, yang berjasa terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia kala itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Berkat jasanya, maka Jogjakarta diberi status Daerah Istimewa, yaitu setingkat provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Keistimewaan itu memberikan konsesi kepda HB IX secara otomatis menjadi Gubernur DI Jogjakarta. Tapi, yang berjasa khan HB IX bukan HB X, HB XI dan seterusnya. Ini jelas tidak demokratis, tidak adil dan melecehkan para pahlawan. Sebab, anak-anak para pahlawan kemerdekaan, tidak langsung bisa menjadi ‘sesuatu’ tanpa mengikuti proses yang semestinya. Bisakah anak keturunan Panglima Besar Soedirman langsung menjadi Lurah, Camat, Walikota, Gubernur, Menteri dan bahkan Presiden tanpa menempuh proses panjang? Tentu saja tidak bisa. Tapi di Jogja bisa. Siapa yang bodoh?
Tewas secara tragis
Nasib tragis abdi dalem tidak saja bisa dilihat dari minimnya upah resmi yang mereka peroleh, tetapi juga bisa dilihat dari peranannya mengikuti perilaku syirik (kemusyrikan) yang dilakukan tuannya. Bahkan sikap pasrah dan selalu manut kepada sang tuannya dapat membawanya mati tragis dalam keadaan tolong menolong di dalam perbuatan syirik.
Belum lama ini telah dikabarkan tentang seorang abdi dalem yang tewas di gunung Lawu. Abdi dalem itu bernama Suradi Abdi Nagoro, berusia 57 tahun. Ia tewas saat melakukan ritual bulan Suro di puncak Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada hari Senin  tanggal 12 Januari 2008.
Suradi adalah abdi dalem Keraton Kesunanan Surakarta, yang menjadi bagian dari rombongan kerabat Keraton yang mengadakan acara ritual Suro menuju puncak Argodumilah Gunung Lawu. Ritual di puncak Gunung Lawu yang biasa disebut juga dengan Pangarit-arit, merupakan prosesi mempersembahkan sesaji sebagai simbol mengenang para pendiri Kerajaan Mataram yang dilakukan setiap bulan Suro.
Ketika sampai di pos bayangan, yaitu antara pos II dan pos III Cemoro Kandang, Suradi mengalami sakit dan sesak napas. Korban kemudian pingsan di lokasi kejadian, dan akhirnya tewas karena kelelahan. Kasihan sekali, ia mati dalam keadaan berbuat syirik. Sebuah dosa besar yang tidak terampunkan. Apakah pemerintah tidak kasihan dengan para abdi dalem? Mereka, bergelimang kemusyrikan dan berelimang kedzaliman dengan upah yang ala kadarnya di bawah garis kemiskinan bahkan di bawah garis kemanusiaan. (haji/tede)